Selasa, 24 Januari 2017

Envoi Sebuah Novel

kota mati yang kumasuki
adalah jam satu pagi
di mana sunyi
berkelebat dari suar
pabrik-pabrik penuh buruh
di mana sunyi
dikukukkan burung hantu

kau mengatakan sendiri dirimu
tanpa dialog dalam tubuhku
dan lampu-lampu meretih
di pucuk tiang-tiang karat
dan laron-laron ekstase
dalam cahaya-cahaya larat

di tengah ketersesatan
takkan ada tuhan
hanya ada ketakutan
dan pertanyaan
aku letakkan
pada pundak gelap Waktu

tak bisa apa-apa
takkan bisa
kecuali aku penyair tua
yang tobat dan ikut parade
dungu hari-hari omong kosong
dan membaca puisi jelekku
di sudut taman buat direkam
supaya abadi
agar aku tak sinting lagi
membunuh kincir angin
yang diam tak peduli.


Puisi (sebenarnya didedikasikan buat Roberto Bolano)

Pesawat Tanpa Awak di Langit Dunia

runtuhlah kebijaksanaan yang dibangun abad-abad
ketika aku menjejakkan kakiku sendirian
di dekat sumur kosong gelap tak berbatas
di kubur, di mana lolongan anjing-anjing mati
setia mengkuduskan segalanya.

aku menatap sisi gelap bulan dari mata yang lain
sebelum pagi mengucur bagai kencing orang tua
dan perkataan yang mulia para penganut agama
jadi lembek selepot tahi di bokong bocah-bocah.

mengikat orang-orang oranye pada tiang pancang
agar menatap Bima Sakti yang jelek
dan meniupkan ketakjuban mereka pada semua perkara dunia
adalah nasib buruk bagi kehidupan

aku telah mengatakan kebisingan yang tak perlu didengar
oleh manusia dungu yang hanya tersita pada Tuhan
sebab kedua tanganku mengikat nadi mereka
untuk tetap mati meskipun terlahir ke dunia ini:
dengan satu perkecualian bahwa yang mati sadar ia sudah mati—

aku menyaksikan diriku tenggelam dalam salju beku
yang menikam jiwa setiap benda-benda tak bernama
mirip gua pengurung tujuh kanak 300 tahun

–borok mana lagi yang telah dikabarkan, selain kisah ajaib
   dari langit dan jin yang tak pernah kulihat?